Rabu, 25 April 2012

INAFIS ala Kampung Mak Wah

   Penghulu fakist harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak penting untuk memberlakukan kartu identitas warganya yang disebut INAFIS. Kartu ini benar-benar berbasis jatidiri, sehingga warga dapat ditempatkan pada zona yang tepat. Saling meridhoi, tidak perlu ada yang terluka, apalagi saling melukai. Makom seseorang telah diatur oleh sang maha pengatur hidup dan kehidupan ini, siapa menjadi apa sudah ditulis lima ratus tahun sebelum kejadian. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyadari bahwa hidup ini tidak bisa dipilih, diminta, apalagi ditolak. Kesadaran menjalani setiap posisi merupakan cara menjaga keselarasan jagad kecil dalam jagad besar, sebuah jalan keiklasan menapaki tangga makrifat.
   Penghulu fakist benar-benar berhati-hati dalam menjalankan keputusannya, menilik pengalaman yang telah lalu, menyebabkan dia lebih matang dalam bertindak. Simak saja pengalaman pahit yang ditorehkan oleh snock horgronye, sang snock berhasil memisahkan syariat dari hakekatnya. Sang pahlawan multatuli, di dalam dia menjadi penghianat sebaliknya di luar dia menjadi pahlawan. Seorang yang gentleman, sebut saja syeh nawawi, setelah tak sanggup memadukan ajaran muhammad dan uwaysi, dia kembali ke kelompoknya di mekah. Yang tetap tinggal adalah para wali, itulah cikal bakal penduduk negeri fakir, yang terus dihujat sehingga negeri itu serasa kiamat.
   Fakist menetapkan, bahwa basis kampung MakWah adalah kesaktian. Bagaimana tidak? Kampung MakWah adalah hutan beton dan lautan plasik, tak ada sumber hidup dan kehidupan. Memulai sesuatu dari yang mati menjadi hidup, tak ada jalan lain kecuali dibutuhkan kesaktian. Jadi, kesaktian itu bukan diadakan tapi memang dibutuhkan.
   Menyatukan waktu bukan karena pasar modal, mengingat di kapung MakWah tidak ada modal. Kitab MakWah tidak mengenal falas, karena kata itu menjadi perigatan bagi mereka: awas salaf.
   Maka INAFIS akan menentukan zona dimana warga tinggal, zona jawara, zona teknokrat, zona birokrat, atau zona rakyat, fakist bermakom, supaya keruwetan tidak terjadi. Perpindahan zona hanya cukup memberikan tanda dimana mereka berada. Menarik untuk dicermati, bahwa penggunaan INAFIS sangat tepat untuk dipilih, terutama untuk alasan hukuman.
   Hukuman ringan bagi generasi penerus, adalah ditandai kartu INAFISnya, dikirim ke pedalaman supaya hidupnya bener. Hukuman untuk orang yang melakukan kesalahan karena tidak sanggup menahan diri dengan alasan kepepet, diwajibkan mengikuti program transmigrasi, mengolah lahan kosong yang subur. Hukuman terberat diberikan kepada yang rakus dan kelompok yang berusaha merubah keyakinan yang berlaku sebagai landasan kampung MakWah. Pada kelompok ini, bukan saja INAFISnya yang dicabut, tetapi sekaligus teknik penguncian bathin diberlakukan. Kelompok terakhir akan berada di lokasi perbatasan, tanpa identitas, hidup seperti film "In the Middle of Know Where"
   Golok salungkar tidak perlu menjadi asmal, karena langit tidak berkenan, cukup menjadikan mereka keder......

Indanya hidup di tanah MakWah......
Tanpa pertumpahan darah.....
Tuhan pasti bilang.....eMAK....bilang ....apa...WAH.......
Tuhan mah bisa eun....moal kataekan dina mlaikat......

Wkwkwk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar