Rabu, 11 April 2012

Semar: SMAR- MARS-SRAM

   Hari ini kampung fakir melaksanakan hajatan, sebuah hajatan yang umum dilakukan untuk menghormati seseorang yang berpulang ke rakhmatullah. Suasana kampung tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tidak ada tenda, tidak ada pengeras suara, dan tidak ada bau menyengat masakan pengundang selera. Satu-sarunya bau adalah bau harum kembang melati, yang terus ada sampai empat puluh hari kepulangannya.
   "Menarik untuk diperbincangkan nanti, saat cangkrukan dengan para fakir" kata sang wartawan lirih.
Sang wartawan menunggu saat yang tepat untuk membahas fenomena yang dia rasakan, seperti tidak adanya suguhan, bau harum, dan tata cara penghormatan kepada sang mayit. tentu tidak etis, jika masalah tersebut dibahas di tempat perkabungan.
   Lewat empat puluh hari dari suasana perkabungan, saat cangkrukan, wartawan tersebut mencoba mengorek berita, yang tentu saja sangat berguna bagi pembacanya.
   "Ini adalah saat yang tepat mengorek keterangan dari para fakir mengenai adat istiadat kampung fakir, yang terus adem ayem, uripe tentrem" pikir sang wartawan.
   Namanya juga wartawan, selalu saja ada peluang mengambil keuntungan dari setiap kejadian. Setidaknya berita yang dapat menaikkan rating. Jujur, pekerjaan wartawan ya memang itu, mengorek-ngorek kuping, mempertajam pendengaran, untuk mendapatkan berita, terutama yang sensasional.  Mencari berita, dan terus meng update blog, merupakan kewajiban yang diembannya, dan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya karena pembaca menunggu ulasannya, seperti ulasan komentator bola. Kehadiran pertandingan bola akan seru dengan kehadiran para komentator, supaya tidak garing, kata teman sekampunnya.
   Fakir yang tepat untuk dijadikan nara sumber adalah si tukang BECAK (BE= menjadi CAK= CAKCAK= cicak),  dialah fakir yang selalu berkata cocok....cocok...
   "Kang, iye kunaon nya, mayit mening wangi pisan?"
   "Heeh, di dieu mah, eta pertanda mayit ntos nyatu sareng gusti pangeran"
   "Kok bisa Kang? boga elmu gitu?"
   "Ya, boga lah, mana ada di dieu jelma teu ngelmu?"
   "Maksud Akang teh, kunaon nya? lieur"
   "Coba terangkeun ku maneh, sapa tahu iyeu elmu manfaat dina nagari urang nu butuh jalan keluar" lanjut sang wartawan.
   "Ah sederhana bae elmuna" jawab akang becak datar.
   "Iya, kumaha"
   "Nyatu...nyatu...nyatu" sambil mempraktekkan tangannya menyuap mulut.
   "Maksud akang makan?"
   "Hooh"
   "Apa yang dimakan, dengan siapa makan, dari mana asal makan, dan banyak sekali perbincangan tentang urusan makan dan memakan"
   "Terus....?"
   "Istilah kampung kami, untuk strata paling bawah, dan untuk binatang adalah nyatu, sedangkan paling tinggi adalah tuang"
   "Teu nyambung...apa hubungannya dengan bau wangi mayit?"
   "Makanan ucing, ya itulah yang kami makan"
   "Terus....?"
   "Tentu saja kehadiran kami sangat ditunggu oleh Ibu Pertiwi, karena kami tidak pernah menganiayaNya"
   Sambil manggut-manggut, sang wartawan mengirimkan ulasan Kang Becak, moga dapat ketangkep oleh pembacanya maksud dari pesan Kang Becak. Sambil mengetik berita, entah kekuatan dari mana, tiba-tiba tangannya ingin menulis kata: LA TUDRIKUHUL ABSOORU WAHUWA YUDRIKUHUL ABSOORO WAHUWA LATIFUL KOBIR....Kalau saja petani, peladang, peternak, petambang, dan BULOG dikampung ikut mengamalkannya, tentu ketahanan pangan dapat dicapai dan NKRI dapat diselamatkan dari kebangkrutan. Tapi masalahnya, kalimat sakti ini hanya berlaku di kampung fakir, yang hanya punya satu undang-undang yaitu: Yakin di dalam, Ingkar di luar. Lurus FAKIR, menyimpang KAFIR. takut sama HANTU apa TUHAN?.....
   "Let's see....." sahut COKE.....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar