Rabu, 11 April 2012

Amandemen Wasiat Njeng Rasul



    Pagi ini para fakir berkumpul di gardu mulut gang dekat masjid, tepatnya gang sembilan. Disekitar masjid ada beberapa kontrakan satu kamar yang dihuni para fakir dengan profesi klas bawah, ada tukang roti, tukang becak, tukang cuci, tukang jagal, tukang sapu, tukang masak, dan pekerja serabutan lainnya. Suasana mendung membuat mereka enggan kemana-mana. Pun hari ini Jumat, jadi jasa mereka sedang kurang dibutuhkan.
    Di kampung fakir, hari Jumat adalah awal ibadah selama satu minggu, sedang tutup buku laporan langit dilakukan pada hari Kamis. Itu sebabnya Njeng Rasul mengajarkan kepada fakir untuk puasa pada hari Kamis, dengan maksud, bahwa laporan yang dibuat adalahbenar telah dikerjakan dengan sadar dan penuh tanggung jawab serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu, Njeng Rasul juga mengajarkan untuk menerima anugerah hidup selama di dunia dengan cara tirakat, artinya makhluk ridho atas semua keadaan yang terjadi pada dirinya. Puasa pada hari kelahiran dimaksudkan untuk nirakati atau muji syukur atas kesempatan berwisata ke dunia. Oleh karena itulah Njeng Rasul, puasanya jadi Senin-Kamis, karena beliau lahir hari Senin.
    Pada cangkrukan kali ini, secangkir kopi dingin yang mereka suguhkan merupakan kopi sisa kemarin. Bersyukur masih ada kopi walaupun dingin. Tentu saja sajian kopi dingin, di kampung fakir adalah sebuah pertanda dari penghulu fakir bahwa para fakir harus siaga, tepatnya siaga satu, seperti yang sedang dilakukan oleh negara ini. Yang lebih parah adalah tanpa rokok, suatu pemandangan yang jarang terjadi di kampung fakir, cangkrukan tanpa rokok. Padahal bagi fakir, rokok adalah istri pertama, wajib hukumnya mereka bicara sambil merokok, karena gerakan mengisap rokok dan merek rokok yang disuguhkan merupakan isyarat informasi apa yang sedang dikirim oleh penghulu fakir.
    Salah seorang fakir mencoba mengurangi ketegangan dengan cara membuka obrolan pendek:”Jagad pewayangan baratayudha yo, kabeh ngaku paling bener, sesuai dengan kitab, Tapi kok ajur-ajuran yo, mosok kitab mulangi perang barata yudha yo, iku muskil?”
    “He eh, kok ga masuk akal” timpal lainnya.
    “Jane ono opo yo?”
    “Kabeh mengikuti Alquran dan Hadits”
    “Tapi seprono seprene, malah tambah ruwet mbulet, mbuh sopo sing bener”
    “Iyo, tambah suwi, somor tambah kiruh lan tambah sat, pertondo arep ono braholo”
    “Takokno Cak Saleh ae, mungkin ada solusi”
    Maka berbondong-bondonglah mereka mendatangi Cak Saleh, ke rumahnya, gubuk reot yang sudah hampir roboh dimakan usia. Sesampai di rumah Cak saleh, para fakir di suguhi minum air putih. Selang beberapa saat, kemudian mereka mulai menginterogasi Cak Saleh sehubungan dengan keterlibatannya dalam merancang undang-undang tak tertulis bagi fakir yang dilakukannya dengan penghulu fakir.
    Fakir tidak ingin aspirasinya tidak didengar dan dimasukkan dalam RUU tersebut. Sebelum RUU fakir diundangkan memang sebaiknya mereka tahu terlebih dahulu drafnya, agar kelak dikemudian hari, jika RUU tersebut telah diundangkan, kedua belah fihak saling meridhoi, fakir meridhoi apa yang akan dilakukan oleh penghulu para fakir dan penghulu fakir ridho melaksanakan aturan main, yaitu memainkan jagad pewayangan.
    Cak Jagal, biasa disebut, karena selalu mengatakan Jagalah hati jangan konodai, jagalah hati lentera hidup ini, membuka pertanyaan: “Cak Soleh, apa yang terjadi dengan jagad pewayangan?”
    “Kalimat Njeng Rasul itu ternyata penuh rahasia, makanya Beliau sering nangis, karena harus menyimpan rahasia” jawab Cak Saleh.
    Karuan saja para fakir agak tegang, semua lansung mengambil posisi duduk bersila, fakus, menyatukan pikiran dan hati, menapaki tangga makrifat. Mereka megunjungi kediaman penghulu fakir, ecek-eceknya demo begitu. Di tempat kediaman penghulu fakir, para fakir menghujat sebelum penghulu fakir dihujat khalayak dikemudian hari, maksudnya uji kelayakan, RUU sebelum diundngkan, apakah bertentangan dengan undang-udang yang baku. Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Njeng Rasul mati ngenes.
    Kemudian berceritalah penghulu fakir, kejadian yang dilihat Njeng Rasul waktu itu, yang akan terjadi dikemudian hari. Njeng Rasul melihat kekasihnya akan diuyo-uyo. Dan kenyataannya memang sekarang sudah mulai terjadi. Salah satu fakir mulai pingsan tak sanggup melihat apa yang terjadi. Kekasih Njeng Rasul mulai disuruh tidur di luar kamar (ROKOK HAREM), dia juga sering diusir dari rumah (mencium Hajar Aswat dijadikan komoditi). Lebih parah lagi, kekasihnya dibuat kerdil, tanah dikapling-kapling, semakin ke sini kaplingannya semakin kecil dan fakir semakin terdesak dan terdepak. Hampir dipastikan suatu saat fakir tidak ada. Jika tidak ada fakir, kemana penghulu fakir harus berada?
    Mengingat Undang Undang Dasar yang berlaku di kampung fakir menyebutkan bahwa Tuhan memberi kedudukan, kekayaan, kesempurnaan, bagi yang meminta, tapi Tuhan bersama yang tidak punya kedudukan, cacat, dan miskin. Jadi, jika fakir terpinggirkan dan punah, maka penghulu fakir pasti mati ngenes tidak ada temannya. Oleh karena itu, Njeng Rasul memberi isyarat, dengan kalimat yang mengandung makna tersembunyi, terbuka bagi yang dapat membuka. Kalimat tersebut adalah “Aku tinggalkan dua hal yaitu Alquran dan Alsunah sebagai pegangan”.
    Ini pokok persoalannya, kata Cak Saleh “Alquran adalah voice of Allah, sedang Alsunah merupakan napak tilas amalan Rasul”
    “Iya, apa maknanya?” tanya yang lain.
    “Mushaf itu tidak bunyi manakala yang empunya tidak bicara. Alquran adalah perjalanan bathin Njeng Rasul menapaki tangga makrifatnya. Tuntunan demi tuntunan yang diucapkan oleh Allah merupakan perintah dan sebagian adalah kisah nyata yang dilihat mata bathinnya. Semua terimplementasi dalam laku kesehariannya, yang ditulis dalam Alsunah”.
    “Setiap makluk menapaki tangga makrifatnya sesuai dengan kadar kemampuannya, karena kemampuan menjalani hidup telah diukur dan terukur.”
    Maka dari itu, ritual ibadah fakir satu dengan lainnya tidak pernah sama, unik, dan tersembunyi. Dibuat unik karena setiap makhluk mempunyai kitab, dikatakan tersembunyi karena pembacaan kitab itu di dalam bathin. Untuk melakukan sesuatu, fakir tidak diperkenankan latah-latahan, harus ada alasan jelas setiap ritual peribadatan, ini salah satu doktrin tidak tertulis dari aturan fakir. Fakir mengatur langkahnya dengan ajaran yang ditularkan oleh penghulu fakir, yaitu Tuhan. Sang Penghulu Fakir tidak pernah latah melakukan sesuatu karena tidak ada yang dilatahi, Dia adalah asbab dari setiap kejadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar