Pagi ini para
fakir berkumpul di gardu mulut gang dekat masjid, tepatnya gang sembilan.
Disekitar masjid ada beberapa kontrakan satu kamar yang dihuni para fakir
dengan profesi klas bawah, ada tukang roti, tukang becak, tukang cuci, tukang
jagal, tukang sapu, tukang masak, dan pekerja serabutan lainnya. Suasana
mendung membuat mereka enggan kemana-mana. Pun hari ini Jumat, jadi jasa mereka
sedang kurang dibutuhkan.
Di kampung fakir,
hari Jumat adalah awal ibadah selama satu minggu, sedang tutup buku laporan
langit dilakukan pada hari Kamis. Itu sebabnya Njeng Rasul mengajarkan kepada
fakir untuk puasa pada hari Kamis, dengan maksud, bahwa laporan yang dibuat
adalahbenar telah dikerjakan dengan sadar dan penuh tanggung jawab serta dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu, Njeng Rasul juga mengajarkan
untuk menerima anugerah hidup selama di dunia dengan cara tirakat, artinya
makhluk ridho atas semua keadaan yang terjadi pada dirinya. Puasa pada hari
kelahiran dimaksudkan untuk nirakati atau muji syukur atas kesempatan berwisata
ke dunia. Oleh karena itulah Njeng Rasul, puasanya jadi Senin-Kamis, karena
beliau lahir hari Senin.
Pada cangkrukan
kali ini, secangkir kopi dingin yang mereka suguhkan merupakan kopi sisa
kemarin. Bersyukur masih ada kopi walaupun dingin. Tentu saja sajian kopi dingin,
di kampung fakir adalah sebuah pertanda dari penghulu fakir bahwa para fakir harus
siaga, tepatnya siaga satu, seperti yang sedang dilakukan oleh negara ini. Yang
lebih parah adalah tanpa rokok, suatu pemandangan yang jarang terjadi di kampung
fakir, cangkrukan tanpa rokok. Padahal bagi fakir, rokok adalah istri pertama,
wajib hukumnya mereka bicara sambil merokok, karena gerakan mengisap rokok dan
merek rokok yang disuguhkan merupakan isyarat informasi apa yang sedang dikirim
oleh penghulu fakir.
Salah seorang
fakir mencoba mengurangi ketegangan dengan cara membuka obrolan pendek:”Jagad
pewayangan baratayudha yo, kabeh ngaku paling bener, sesuai dengan kitab, Tapi
kok ajur-ajuran yo, mosok kitab mulangi perang barata yudha yo, iku muskil?”
“He eh, kok ga
masuk akal” timpal lainnya.
“Jane ono opo yo?”
“Kabeh mengikuti
Alquran dan Hadits”
“Tapi seprono
seprene, malah tambah ruwet mbulet, mbuh sopo sing bener”
“Iyo, tambah suwi,
somor tambah kiruh lan tambah sat, pertondo arep ono braholo”
“Takokno Cak Saleh
ae, mungkin ada solusi”
Maka berbondong-bondonglah
mereka mendatangi Cak Saleh, ke rumahnya, gubuk reot yang sudah hampir roboh
dimakan usia. Sesampai di rumah Cak saleh, para fakir di suguhi minum air putih.
Selang beberapa saat, kemudian mereka mulai menginterogasi Cak Saleh sehubungan
dengan keterlibatannya dalam merancang undang-undang tak tertulis bagi fakir yang
dilakukannya dengan penghulu fakir.
Fakir tidak ingin
aspirasinya tidak didengar dan dimasukkan dalam RUU tersebut. Sebelum RUU fakir
diundangkan memang sebaiknya mereka tahu terlebih dahulu drafnya, agar kelak
dikemudian hari, jika RUU tersebut telah diundangkan, kedua belah fihak saling
meridhoi, fakir meridhoi apa yang akan dilakukan oleh penghulu para fakir dan
penghulu fakir ridho melaksanakan aturan main, yaitu memainkan jagad
pewayangan.
Cak Jagal, biasa
disebut, karena selalu mengatakan Jagalah hati jangan konodai, jagalah hati
lentera hidup ini, membuka pertanyaan: “Cak Soleh, apa yang terjadi dengan
jagad pewayangan?”
“Kalimat Njeng
Rasul itu ternyata penuh rahasia, makanya Beliau sering nangis, karena harus
menyimpan rahasia” jawab Cak Saleh.
Karuan saja para
fakir agak tegang, semua lansung mengambil posisi duduk bersila, fakus,
menyatukan pikiran dan hati, menapaki tangga makrifat. Mereka megunjungi
kediaman penghulu fakir, ecek-eceknya demo begitu. Di tempat kediaman penghulu
fakir, para fakir menghujat sebelum penghulu fakir dihujat khalayak dikemudian
hari, maksudnya uji kelayakan, RUU sebelum diundngkan, apakah bertentangan
dengan undang-udang yang baku. Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Njeng Rasul mati ngenes.
Kemudian
berceritalah penghulu fakir, kejadian yang dilihat Njeng Rasul waktu itu, yang
akan terjadi dikemudian hari. Njeng Rasul melihat kekasihnya akan diuyo-uyo.
Dan kenyataannya memang sekarang sudah mulai terjadi. Salah satu fakir mulai
pingsan tak sanggup melihat apa yang terjadi. Kekasih Njeng Rasul mulai disuruh
tidur di luar kamar (ROKOK HAREM), dia juga sering diusir dari rumah (mencium Hajar
Aswat dijadikan komoditi). Lebih parah lagi, kekasihnya dibuat kerdil, tanah
dikapling-kapling, semakin ke sini kaplingannya semakin kecil dan fakir semakin
terdesak dan terdepak. Hampir dipastikan suatu saat fakir tidak ada. Jika tidak
ada fakir, kemana penghulu fakir harus berada?
Mengingat Undang
Undang Dasar yang berlaku di kampung fakir menyebutkan bahwa Tuhan memberi
kedudukan, kekayaan, kesempurnaan, bagi yang meminta, tapi Tuhan bersama yang
tidak punya kedudukan, cacat, dan miskin. Jadi, jika fakir terpinggirkan dan
punah, maka penghulu fakir pasti mati ngenes tidak ada temannya. Oleh karena
itu, Njeng Rasul memberi isyarat, dengan kalimat yang mengandung makna
tersembunyi, terbuka bagi yang dapat membuka. Kalimat tersebut adalah “Aku
tinggalkan dua hal yaitu Alquran dan Alsunah sebagai pegangan”.
Ini pokok
persoalannya, kata Cak Saleh “Alquran adalah voice of Allah, sedang Alsunah merupakan
napak tilas amalan Rasul”
“Iya, apa
maknanya?” tanya yang lain.
“Mushaf itu tidak
bunyi manakala yang empunya tidak bicara. Alquran adalah perjalanan bathin
Njeng Rasul menapaki tangga makrifatnya. Tuntunan demi tuntunan yang diucapkan
oleh Allah merupakan perintah dan sebagian adalah kisah nyata yang dilihat mata
bathinnya. Semua terimplementasi dalam laku kesehariannya, yang ditulis dalam
Alsunah”.
“Setiap makluk
menapaki tangga makrifatnya sesuai dengan kadar kemampuannya, karena kemampuan
menjalani hidup telah diukur dan terukur.”
Maka dari itu,
ritual ibadah fakir satu dengan lainnya tidak pernah sama, unik, dan
tersembunyi. Dibuat unik karena setiap makhluk mempunyai kitab, dikatakan
tersembunyi karena pembacaan kitab itu di dalam bathin. Untuk melakukan
sesuatu, fakir tidak diperkenankan latah-latahan, harus ada alasan jelas setiap
ritual peribadatan, ini salah satu doktrin tidak tertulis dari aturan fakir. Fakir
mengatur langkahnya dengan ajaran yang ditularkan oleh penghulu fakir, yaitu Tuhan.
Sang Penghulu Fakir tidak pernah latah melakukan sesuatu karena tidak ada yang
dilatahi, Dia adalah asbab dari setiap kejadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar