Sabtu, 07 April 2012


Reformasi Haji ala Fakir


                Alkisah pada suatu hari, di kampung fakir tersesat seseorang yang mengaku sebagai wartawan. Bisa dipercaya, karena bawaan banda dan penampilannya memang meyakinkan seperti wartawan yang meliput huru-hara di televisi. Walaupun anak muda tersebut belum bertanya, tapi para fakir sudah tahu apa yang menjadi kegalauannya.
                Sambil duduk bersila, wartawan tadi kelihatan bingung antara memegang kamera dan tape recordernya. Wartawan tersebut sadar betul bahwa di kampung fakir tidak diperkenankan mengambil gambar atau merekam pembicaraan. Pernah teman sekampungnya mencuri mengambil gambar kampung fakir sehingga berakibat fatal yaitu hilang ingatan dan lupa jalan pulang, sampai orang luar menemukannya, dan mengantar menuju jalan pulang. Sebegitu sakralnya kampung fakir bukan karena disakralkan, tapi benar adanya, dan pantas menjadi tanah larangan.
                Yaah tanah larangan, karena di kampung fakir dilarang melakukan sesuatu dimana bathin dikendalikan oleh jiwa. Sesungguhnya, manungsa dapat dibedah menjadi tiga bagian, yaitu makhluk yang bernama badan, jiwa, dan ruh. Badan berada di luar, jiwa dan ruh berada di dalam. Jiwa inilah yang mengendalikan rasa, dan bersemayam makhluk yang bernama nafsu. Di tanah larangan, manusia-manusia kampung fakir dapat mengendalikan secara benar makhluk yang namanya jiwa. Pengendalian ini, berbanding lurus dengan posisi jabatan yang diembannya. Strata paling bawah, luar, terus dilanjutkan sampai ke dalam. Paling tinggi yaitu tanah larangan. Disebut tanah larangan, ya memang punya pengertian khusus menjurus pada larangan ngawulo saptictank. Implementasi dalam menjalani kehidupan adalah dengan tirakat seumur hidup. Puncak kesakralan di tanah larangan adalah hutan larangan dimana bersemayam ARCA DOMAS.  Menurut ilmu gathuknya para fakir, ARCA DOMAS bermakna ARCA (CARA= yang bermakna cara), DO (melakukan =menjalani hidup),  MAS (emas = yaitu berkilau seperti emas, yang berkonotasi mulia). Selanjutnya, kesakralan tersebut beranjak dari strata masyarakat penamping, anak, perempuan, laki-laki, baresan, jaro, terakhir berpuncak pada PUUN. Sekali lagi berdasarkan ilmu gathuk para fakir, PUUN bermakna amPUUN, yang mempunya arti konotatif istigfar.
                Itu sebabnya, di tanah larangan di pimpin PUUN, masyarakat menjalani kehidupan, sehingga PUUN dianggap titisan Sang Hyang Widi Wasa. Merujuk pada permintaan maaf, maka hidup, kehidupan dan berpenghidupan ini dijalani. Dalam urusan maaf memaafkan, fakir mempunyai pakem baku, yaitu memaafkan leluhur, dan meminta maaf pada keturunan. Siapa leluhur para fakir? Dialah Tuhan Semesta Alam ini, yang merencanakan setiap kejadian dan menjadikannya. Meminta maaf pada keturunan? Ya karena mengambil hak keturunannya, seperti mengolah ladang, apakah yang mereka lakukan melebihi takaran, melampaui batas?
                Tidak ada tempat sesembahan bagi mereka, prosesi ritualnya adalah pemb ersihan bathin. Berawal dari membersihkan area ARCA DOMAS oleh para pemangku adat, yang dipimpin oleh PUUN dan jajarannya, terus ke rumah PUUN, bale adat, rumah para warga kajeroan, dan terakhir warga penamping. Dalam prosesi ini, tentu tidak main-main, bathin dalam keadaan suci, dengan cara mengunci jiwa. Raga benar-benar berimam pada Ruh. Teknik penguncian jiwa cukup sederhana, yaitu tidak makan dan minum selama membersihkan ARCA DOMAS. Bukan itu saja, tidak boleh mengeluarkan AIR seni atau kencing. Lagi-lagi, melalui ilmu gathuk para fakir, AIR (RIA = makna yang  terkandung adalah ujub), sehingga ritual ini benar-benar dilarang diketahui bagi selain mereka.
                Dalam perjalanannya, mereka dilarang menyentuh apapun, kecuali yang menghalangi jalan menuju ARCA DOMAS. Itu adalah sebuah faham yang bermuara dari dalam, bahwa mereka tidak perduli terhadap urusan makhluk lain, semua sudah ada yang atur, yaitu Sang Hyang Widi. Kekuatan bathin mereka adalah yakin. Inti dari prosesi pembersihan adalah membersihkan bathin. Pembersihan itu diwujudkan dalam membersihkan rumah dari benda-benda yang membuka pintu nafsu, membersihkan ladang dari tanaman musiman, karena tanaman tersebut akan menghisap hara dalam tanah. Satu-satunya tanaman musim yang diijinkan adalah padi, itupun padi ladang. Mereka sangat berhati-hati dengan kata dalam, dalam berkonotasi bathin. Mereka membiarkan segala sesuatu tumbuh dengan sendirinya, tanpa rekayasa. Hutan dibiarkan tetap belantara, air dibiarkan mengalir kemana air ingin pergi, sambung rasa dengan Sang Hyang Widi terus terjaga sehingga semua tindakannya dikendalikan oleh bathin. Kebersihan bathinnya sebersih air yang mengalir, kebeningan bathinnya sesunyi suasana kampung, sejuk di dalam dan sejuk di luar.
Hari ini, wartawan tersebut berada di kampung yang pernah membuat teman sekampungnya gila. Tentu saja, hal tersebut, sejenak membuat sang wartawan ciut nyali. Satu dua detik kemudian, wartawan tersebut telah dapat mengatasi keadaan. Bukan karena sang wartawan dapat mengatasinya, lebih pada peran para fakir, mengunci hatinya. Senjata para fakir untuk menjaga keamanan dan ketenteraman kampung bukan melalui fisik, lebih pada kekuatan bathin. Beberapa detik barusan, merupakan tahap screening, sesuai dengan PROTAP, apakah pendatang mempunyai niatan diluar ketentuan aturan amanah leluhur.
                Baresan dua belas merupakan punggawa kampung yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman. Benar, benar berjumlah dua belas orang untuk menjaga wilayah seluas lebih dari 6000 hektar. Dari luar, tak nampak bahwa mereka adalah jawara, hanya golok salungkar saja yang membedakannya, itupun hampir tidak pernah digunakan. Golok tersebut benar-benar mempunyai kekuatan magis manakala berada di tangan yang tepat. Dikatakan tepat, karena golok salungkar yang dibuat dengan ramuan berbagai racun yang mematikan, berada di tangan para jawara dengan perawakan kurus, tutur kata yang lembut, halus, dan datar, serta sorot mata bening nan tajam.Makna angka dua belas adalah arah jarum jam menunjuk ke atas, yaitu Sang Hyang Widi, tindakan yang harus dilakukan berdasar PROTAP Sang Hyang Widi.
                Setelah tahap screening berlalu, maka seseorang memberikan air putih yang telah ditawasulin untuk membuka kembali penguncian. Sulit diterima nalar dan tak mungkin dipelajari, ilmu totok ala kampung fakir. Jika totok saraf atau totok aliran darah yang biasa dilakukan oleh para biksu shaolin kasat mata dan dibukukan, maka penguncian hati sepertinya hanya dipunyai oleh leluhur kita di kampung pedalaman, kampung para fakir. Sejenak semua terdiam, beberapa waktu kemudian suasana menjadi cair, dan obrolan ala fakir terjadi.
                Sang wartawan sampai tersesat di kampung fakir, semata-mata ingin menemukan jawab atas persoalan yang diemban bangsa ini. Persoalan yang pelik yang entah dari mana harus memulai mengurainya. MUI yang diharapkan fatwanya malah mengharamkan rokok. Padahal menurut kitabNya, rokok makruh. Dalam lingkungan fakir, rokok adalah alat fital. Menurut ilmu gathuk, ROKOK ( ROh dan poKOK, maksudnya Ruh yang menjadi andalan hidup), rokok dihisap (hisap = hisab, yang bermakna dimintai dan meminta pertanggungjawaban), sehingga pada saat menghisap bathin mereka benar-benar pada posisi pertimbangan. Pertimbangan saling memaafkan, Khalik meminta maaf menurunkan kejadian, dan makhluk memaafkan, dan memposisikan bathin ridho. Bukankah suasana bathin ridho dan meridhoi adalah frekuensi sambung antara makhluk dan Khalik. Bukankah silaturakhmi ini yang dilarang diputus? Pertanyaan yang tentu saja tak butuh jawaban, wong memang jawabannya adalah karunia. Makruh, dalam ilmu gathuk menjadi eMAK dan weRUH, yang artinya Tuhan tahu. Nah, kalau sudah direkayasa menjadi Haram, dalam pengertian ilmu gathuk HARAM (=harem, dalam bahasa arab artinya di luar). Nah loe, kenapa ruh ada di luar, itu juga bukan salah MUI, yang harus terjadi pasti terjadi, wong setiap kejadian sudah ditulis lima ratus tahun skala kampung fakir, sebelum terjadi. Inilah ilmu yakin yang dikuasai oleh para fakir sehingga tidak terjadi kegalauan.
                Sang wartawan mengabarkan ini, bukan karena keinginannya. Barometer kejadian di dunia pewayangan adalah merah putih. Penetapan BATIK secara mendunia dipegang oleh NKRI bukan tanpa alasan. Menurut ilmu gathuknya para fakir dan Penghulu Fakir, BATIK (=KITAB, pegangan), maka BATIK KUMALI (BATIK= KITAB, kUMALI= MULIA)berada di pedalaman. 

Mojosari, 7 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar