Reformasi Haji ala
Fakir
Alkisah
pada suatu hari, di kampung fakir tersesat seseorang yang mengaku sebagai
wartawan. Bisa dipercaya, karena bawaan banda dan penampilannya memang
meyakinkan seperti wartawan yang meliput huru-hara di televisi. Walaupun anak
muda tersebut belum bertanya, tapi para fakir sudah tahu apa yang menjadi
kegalauannya.
Sambil
duduk bersila, wartawan tadi kelihatan bingung antara memegang kamera dan tape
recordernya. Wartawan tersebut sadar betul bahwa di kampung fakir tidak diperkenankan
mengambil gambar atau merekam pembicaraan. Pernah teman sekampungnya mencuri
mengambil gambar kampung fakir sehingga berakibat fatal yaitu hilang ingatan
dan lupa jalan pulang, sampai orang luar menemukannya, dan mengantar menuju
jalan pulang. Sebegitu sakralnya kampung fakir bukan karena disakralkan, tapi benar
adanya, dan pantas menjadi tanah larangan.
Yaah
tanah larangan, karena di kampung fakir dilarang melakukan sesuatu dimana
bathin dikendalikan oleh jiwa. Sesungguhnya, manungsa dapat dibedah menjadi
tiga bagian, yaitu makhluk yang bernama badan, jiwa, dan ruh. Badan berada di
luar, jiwa dan ruh berada di dalam. Jiwa inilah yang mengendalikan rasa, dan
bersemayam makhluk yang bernama nafsu. Di tanah larangan, manusia-manusia
kampung fakir dapat mengendalikan secara benar makhluk yang namanya jiwa.
Pengendalian ini, berbanding lurus dengan posisi jabatan yang diembannya.
Strata paling bawah, luar, terus dilanjutkan sampai ke dalam. Paling tinggi
yaitu tanah larangan. Disebut tanah larangan, ya memang punya pengertian khusus
menjurus pada larangan ngawulo saptictank. Implementasi dalam menjalani kehidupan
adalah dengan tirakat seumur hidup. Puncak kesakralan di tanah larangan adalah
hutan larangan dimana bersemayam ARCA DOMAS. Menurut ilmu gathuknya para fakir, ARCA DOMAS
bermakna ARCA (CARA= yang bermakna cara), DO (melakukan =menjalani hidup), MAS (emas = yaitu berkilau seperti emas, yang
berkonotasi mulia). Selanjutnya, kesakralan tersebut beranjak dari strata
masyarakat penamping, anak, perempuan, laki-laki, baresan, jaro, terakhir
berpuncak pada PUUN. Sekali lagi berdasarkan ilmu gathuk para fakir, PUUN
bermakna amPUUN, yang mempunya arti konotatif istigfar.
Itu
sebabnya, di tanah larangan di pimpin PUUN, masyarakat menjalani kehidupan,
sehingga PUUN dianggap titisan Sang Hyang Widi Wasa. Merujuk pada permintaan
maaf, maka hidup, kehidupan dan berpenghidupan ini dijalani. Dalam urusan maaf
memaafkan, fakir mempunyai pakem baku, yaitu memaafkan leluhur, dan meminta
maaf pada keturunan. Siapa leluhur para fakir? Dialah Tuhan Semesta Alam ini,
yang merencanakan setiap kejadian dan menjadikannya. Meminta maaf pada
keturunan? Ya karena mengambil hak keturunannya, seperti mengolah ladang,
apakah yang mereka lakukan melebihi takaran, melampaui batas?
Tidak
ada tempat sesembahan bagi mereka, prosesi ritualnya adalah pemb ersihan
bathin. Berawal dari membersihkan area ARCA DOMAS oleh para pemangku adat, yang
dipimpin oleh PUUN dan jajarannya, terus ke rumah PUUN, bale adat, rumah para
warga kajeroan, dan terakhir warga penamping. Dalam prosesi ini, tentu tidak
main-main, bathin dalam keadaan suci, dengan cara mengunci jiwa. Raga
benar-benar berimam pada Ruh. Teknik penguncian jiwa cukup sederhana, yaitu
tidak makan dan minum selama membersihkan ARCA DOMAS. Bukan itu saja, tidak
boleh mengeluarkan AIR seni atau kencing. Lagi-lagi, melalui ilmu gathuk para
fakir, AIR (RIA = makna yang terkandung
adalah ujub), sehingga ritual ini benar-benar dilarang diketahui bagi selain
mereka.
Dalam
perjalanannya, mereka dilarang menyentuh apapun, kecuali yang menghalangi jalan
menuju ARCA DOMAS. Itu adalah sebuah faham yang bermuara dari dalam, bahwa
mereka tidak perduli terhadap urusan makhluk lain, semua sudah ada yang atur,
yaitu Sang Hyang Widi. Kekuatan bathin mereka adalah yakin. Inti dari prosesi
pembersihan adalah membersihkan bathin. Pembersihan itu diwujudkan dalam membersihkan
rumah dari benda-benda yang membuka pintu nafsu, membersihkan ladang dari
tanaman musiman, karena tanaman tersebut akan menghisap hara dalam tanah.
Satu-satunya tanaman musim yang diijinkan adalah padi, itupun padi ladang.
Mereka sangat berhati-hati dengan kata dalam,
dalam berkonotasi bathin. Mereka
membiarkan segala sesuatu tumbuh dengan sendirinya, tanpa rekayasa. Hutan
dibiarkan tetap belantara, air dibiarkan mengalir kemana air ingin pergi,
sambung rasa dengan Sang Hyang Widi terus terjaga sehingga semua tindakannya
dikendalikan oleh bathin. Kebersihan bathinnya sebersih air yang mengalir,
kebeningan bathinnya sesunyi suasana kampung, sejuk di dalam dan sejuk di luar.
Hari ini, wartawan tersebut
berada di kampung yang pernah membuat teman sekampungnya gila. Tentu saja, hal
tersebut, sejenak membuat sang wartawan ciut nyali. Satu dua detik kemudian,
wartawan tersebut telah dapat mengatasi keadaan. Bukan karena sang wartawan
dapat mengatasinya, lebih pada peran para fakir, mengunci hatinya. Senjata para
fakir untuk menjaga keamanan dan ketenteraman kampung bukan melalui fisik,
lebih pada kekuatan bathin. Beberapa detik barusan, merupakan tahap screening, sesuai
dengan PROTAP, apakah pendatang mempunyai niatan diluar ketentuan aturan amanah
leluhur.
Baresan
dua belas merupakan punggawa kampung yang bertugas menjaga ketertiban dan
ketenteraman. Benar, benar berjumlah dua belas orang untuk menjaga wilayah
seluas lebih dari 6000 hektar. Dari luar, tak nampak bahwa mereka adalah
jawara, hanya golok salungkar saja yang membedakannya, itupun hampir tidak
pernah digunakan. Golok tersebut benar-benar mempunyai kekuatan magis manakala
berada di tangan yang tepat. Dikatakan tepat, karena golok salungkar yang
dibuat dengan ramuan berbagai racun yang mematikan, berada di tangan para
jawara dengan perawakan kurus, tutur kata yang lembut, halus, dan datar, serta
sorot mata bening nan tajam.Makna angka dua belas adalah arah jarum jam menunjuk ke atas, yaitu Sang Hyang Widi, tindakan yang harus dilakukan berdasar PROTAP Sang Hyang Widi.
Setelah
tahap screening berlalu, maka seseorang memberikan air putih yang telah
ditawasulin untuk membuka kembali penguncian. Sulit diterima nalar dan tak
mungkin dipelajari, ilmu totok ala kampung fakir. Jika totok saraf atau totok
aliran darah yang biasa dilakukan oleh para biksu shaolin kasat mata dan
dibukukan, maka penguncian hati sepertinya hanya dipunyai oleh leluhur kita di
kampung pedalaman, kampung para fakir. Sejenak semua terdiam, beberapa waktu
kemudian suasana menjadi cair, dan obrolan ala fakir terjadi.
Sang
wartawan sampai tersesat di kampung fakir, semata-mata ingin menemukan jawab
atas persoalan yang diemban bangsa ini. Persoalan yang pelik yang entah dari
mana harus memulai mengurainya. MUI yang diharapkan fatwanya malah mengharamkan
rokok. Padahal menurut kitabNya, rokok makruh. Dalam lingkungan fakir, rokok
adalah alat fital. Menurut ilmu gathuk, ROKOK ( ROh dan poKOK, maksudnya Ruh
yang menjadi andalan hidup), rokok dihisap (hisap = hisab, yang bermakna
dimintai dan meminta pertanggungjawaban), sehingga pada saat menghisap bathin
mereka benar-benar pada posisi pertimbangan. Pertimbangan saling memaafkan,
Khalik meminta maaf menurunkan kejadian, dan makhluk memaafkan, dan
memposisikan bathin ridho. Bukankah suasana bathin ridho dan meridhoi adalah frekuensi
sambung antara makhluk dan Khalik. Bukankah silaturakhmi ini yang dilarang
diputus? Pertanyaan yang tentu saja tak butuh jawaban, wong memang jawabannya
adalah karunia. Makruh, dalam ilmu gathuk menjadi eMAK dan weRUH, yang artinya
Tuhan tahu. Nah, kalau sudah direkayasa menjadi Haram, dalam pengertian ilmu
gathuk HARAM (=harem, dalam bahasa arab artinya di luar). Nah loe, kenapa ruh
ada di luar, itu juga bukan salah MUI, yang harus terjadi pasti terjadi, wong
setiap kejadian sudah ditulis lima ratus tahun skala kampung fakir, sebelum
terjadi. Inilah ilmu yakin yang dikuasai oleh para fakir sehingga tidak terjadi
kegalauan.
Sang
wartawan mengabarkan ini, bukan karena keinginannya. Barometer kejadian di
dunia pewayangan adalah merah putih. Penetapan BATIK secara mendunia dipegang
oleh NKRI bukan tanpa alasan. Menurut ilmu gathuknya para fakir dan Penghulu
Fakir, BATIK (=KITAB, pegangan), maka BATIK KUMALI (BATIK= KITAB, kUMALI=
MULIA)berada di pedalaman.
Mojosari, 7 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar